Hutan adat:
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat”.
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang”.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dimaknai “Hutan negara tidak termasuk hutan adat”.
Merujuk pada
definisi-definisi di atas yang termaktub dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, maka HUTAN ADAT adalah HUTAN HAK yang dikuasai
sepenuhnya oleh MASYARAKAT HUKUM ADAT dengan ATURAN PENGELOLAANNYA
diatur oleh ADAT.
Berkenaan
dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam
kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung
kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi
adalah: (1) Kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2)
Kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih
ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan
kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka
digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara
penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil
manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai.
Sebaliknya
dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek
hak-hak adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan
mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan
perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang
melekat pada masyarakat hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat
yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang
masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai. Hutan adat dengan
demikian kembali dikelola oleh pemerintah/negara.
Pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum
adat dalam keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh
kemudahan dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang
adil baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan
istimewa (affirmative action).
Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban [vide Pasal 28I ayat (3) UUD 1945]. Tidak dapat dihindari,
karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum
adat cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan
tanda-tandanya. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi
masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif, UUD
1945 memerintahkan keberadaan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat supaya diatur dalam undang-undang, agar dengan demikian menjamin
adanya kepastian hukum yang berkeadilan.
Mengupas
lebih lanjut tentang hutan adat di Aceh, kita tidak terlepas dari perjalanan
panjang sejarah yang dimulai dari masa sultan/sultanah yang memimpin Aceh di
mana pernah membuat sebuah peraturan tertulis yang lazim disebut dengan adat
meukuta alam pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Sejarah
Mukim
Lahirnya
mukim dalam struktur pemerintahan di Aceh telah dikenal pada masa Kerajaan Aceh
(1607-1636) di masa pimpinan Sultan Iskandar Muda, yang telah menyempurnakan
Qanun Al-Asyi yang disebut juga dengan Qanun Meukuta Alam (raja yang
mula-mula menyuruh susun Qanun Aceh adalah Sultan Alaiddin Riayat Syah Al
Kahhar (945-979H = 1539-1579M), kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar
Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah (1016-1045H = 1607-1636M). Dan kemudian
disempurnakan lagi mengenai kedudukan wanita, oleh Sultanah Sri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Johan Berdaulat (1050-1086 H = 1641-1675 M).
Salah satu
alasan dibentuknya mukim adalah karena kebutuhan skala ekonomis dan beberapa
persyaratan administrasi untuk melakukan suatu kegiatan. Pada masa itu wilayah
teritorial mukim adalah seluas radius orientasi jangkauan mesjid untuk salat
Jumat.
Mukim pada
berbagai masa telah memiliki peran signifikan dalam melakukan mobilisasi
potensi budaya dan sosial cultural, bahkan dalam pengelolaan harta kekayaan dan
pendapatan mukim untuk kepentingan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam
diatur melalui adat yang berlaku di suatu wilayah, aturan adat di mukim
menetapkan bahwa tanah hutan tidak dapat dijadikan hal milik individual atau
dijadikan harta turun temurun, kecuali ada tanaman tua (MPTS) yang telah
ditanam dan diusahakan oleh personal dengan seizin keuchik serta mukim.
Hutan adat
sebagai salah satu di antara sejumlah kekayaan mukim yang memiliki nilai
penting dan sangat vital, secara ilmu hidrology maka hutan adalah pengatur tata
air yang akan menjamin ketersediaan suplai air bersih untuk kehidupan,
pertanian dan perkebunan. Hutan adalah rumah dari berbagai sumber daya lainnya
seperti hasil hutan bukan kayu (rotan, damar, madu, hewan buruan, dan oksigen)
dan masih banyak lainnya.
Hutan adat
memiliki tingkat kearifan yang paling tinggi, hutan adat menjadi sebuah ukuran
keberadaan sebuah komunitas adat karena identitas yang melekat pada hutan adat
tersebut adalah identitas komunitas masyarakat adat.
Posisi hutan
yang tak tergantikan ini membutuhkan perspektif yang sakral untuk menjaga
kelestariannya, sehingga pandangan dari kacamata adat sangat tepat untuk
menggantikan perspektif yang dibentuk oleh negara (pemerintah).
Sekarang
mukim sudah kembali menjadi elemen penting di Aceh setelah sebelumnya sempat
tergerus oleh kebijakan pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, pasca MoU perdamaian RI-GAM menjadi momentum kebangkitan
kembali mukim sebagai stakeholder penting masyarakat Aceh.
Undang-Undang
Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006
Sejarah
panjang perjuangan GAM dalam menentang Pemerintahan RI akhirnya melahirkan MoU
perdamaian yang salah satu butirnya adalah UU No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh (UUPA) yang telah memasukkan nomenklatur mukim sebagaimana
tercantum dalam pasal 114 UUPA yang menyatakan mukim sebagai struktur lembaga
pemerintahan.
Aturan lebih
lanjut yang mengatur tentang mukim diturunkan dalam Qanun Mukim tingkat
kabupaten yang selanjutnya akan mengatur hubungan mukim dengan harta kekayaan
mukim termasuk hutan adat adalah salah satu yang menjadi kewenangan mukim.
Sebagian
besar kabupaten di Provinsi Aceh sudah menyusun Qanun Mukim di wilayahnya,
tercatat hingga 2013 sudah 16 kabupaten yang sudah mengesahkan Qanun Mukim di
mana sebagian besarnya penyusunannya difasilitasi oleh kelompok sipil/CSO JKMA
Aceh.
Pemerintah
Aceh melalui UUPA sebenarnya dapat menarik kewenangan menetapkan hutan adat
dalam bentuk Qanun Hutan Adat, penetapan ini secara serta merta akan menjawab
kebutuhan pengakuan eksistensi MHA (Masyarakat Hukum Adat) seperti disyaratkan
dalam keputusan MK 35/2012 tentang Hutan Adat bukan hutan negara sepanjang
keadaan masyarakat hukum adatnya masih ada, dalam hal ini di Aceh adalah mukim.
Hutan Adat
sebagai salah satu bentuk harta kekayaan mukim juga terbuka kemungkinan bagi
gampong atau komunitas adat lain untuk menetapkan hutan adat mereka dengan
syarat seperti yang telah disebutkan di atas, karena mengingat beragamnya
komunitas adat yang menyusun struktur masyarakat di Provinsi Aceh.
Dalam Qanun
No 4 tahun 2003 tentang Mukim, terdapat klausul tanah ulayat yang dikuasai dan
berada dalam wilayah mukim dan diatur dalam hukum adat, kalimat dikuasai dan
diatur secara de facto dan de jure bahwa mukim memiliki kekuasan
penuh (otonom) untuk mengelola tanah ulayatnya dan hutan adat merupakan bagian
dari tanah ulayat masyarakat hukum adat yang berada di bawah panglima uteun.
Keputusan
Mahkamah Konstitusi
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) dan perwakilan masyarakat adat nomor 35/PUU-X/2012 menghasilkan satu
buah kepastian hukum tentang hutan adat.
Pasca
Putusan MK ini membuat mukim di Aceh semakin memiliki “isi” yang bukan cuma casing,
bila dulu digambarkan mukim sebagai simbol masyarakat hukum adat yang hanya
dipakai namanya saja tanpa diberi ruang dan kewenangan seperti yang pernah ada,
maka sekarang merupakan saat yang tepat untuk mengaktualisasi identitas
ke-acehan dalam ruang yang lebih luas agar masyarakat adat Aceh eksistensinya
terjaga dari waktu ke waktu.
Mukim selain
memiliki hak menguasai juga dapat mengatur, sehingga ada perbuatan aktif yang
menggambarkan dapat terjadi hubungan hukum terkait pengelolaan atas hak ulayat
dan hutan adat. Ini juga berarti bahwa hak konstitusional masyarakat adat Aceh
sudah dikembalikan oleh negara.
Hutan adat
mulai sekarang sudah dapat dilakukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan
oleh masyarakat adat sebagai sebuah peluang besar untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama ini hanya menjadi
kambing hitam perusakan hutan (selalu disebut sebagai pelaku illegal logging)
dengan tetap mengedepankan azas manfaat dan lestari sebagai sebuah cita-cita
moral.
Hutan adat
dengan bentuk kepemilikan komunal memiliki filosofis yang kuat terhadap
nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku di suatu wilayah, nilai ini
biasanya berlaku turun temurun dari endatu hinggga ke aneuk cuco.
Nilai sejarah juga sering dijadikan landasan bagi penempatan ruang dalam
masyarakat adat sehingga menjadi jaminan bagi kelangsungan hidup generasi, bila
masyarakatnya menghargai sejarah maka dipastikan kehidupan adatnya tetap
terjaga.
Pemerintah
dan Pemerintah Aceh harus dengan segera menyelesaikan status hukum hutan adat
yang diberikan hak konsesinya kepada pihak lain, di beberapa daerah lain kita
lihat banyak terjadi eksekusi sepihak oleh masyarakat adat yang dikarenakan
pemerintah tidak bertindak proaktif dalam mengimplementasi Putusan MK tersebut.
Untuk mengurangi konflik lebih lanjut antara masyarakat dan pemilik konsesi
maka sebaiknya pemerintah melakukan peninjauan terhadap seluruh status
perizinan yang berhubungan dengan kawasan hutan/lahan.
Peluang dan
Tantangan
Integrasi
hutan adat ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh baik RTRW Provinsi
maupun RTRW Kabupaten akan membuka babak baru pengelolaan kawasan hutan,
pengelolaan yang berbasis komunitas menjadi ciri mutlak hutan adat sehingga
pola ruang harus merujuk kepada kebutuhan masyarakat adat yang memiliki
kedaulatan atas wilayah secara otonom.
Untuk
Provinsi Aceh, keberadaan dan pengakuan masyarakat adatnya sudah terdapat dalam
Perda No. 5 tahun 1996 tentang Mukim sebagai kesatuan masayarakat adat, yang
terdaftar dalam Lembar Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 195 tahun 1996
seri D nomor 194. Persyaratan yang disebutkan dalam Keputusan MK No. 35 tahun
2012 tentang eksistensi masyarakat adat untuk Provinsi Aceh sudah terjawab,
tinggal memasukkan substansi hutan adat dan atau hutan mukim dan atau nama lain
menjadi salah satu nomenklatur dalam penataan ruang wilayah Aceh.
RTRW Aceh
pada tahun 2013 mengalami banyak gejolak, desakan untuk segera disahkan pada
Desember 2013 muncul dari banyak pihak terutama eksekutif sebagai sebuah
kebutuhan pembangunan wilayah, bila merujuk logika proses perencanaan
pembangunan maka RTRW menjadi landasan dasar untuk penyusunan RPJM/RPJP di mana
berisi kegiatan-kegiatan pembangunan wilayah/sektoral dan menunjukkan arah,
bentuk dan karakteristik visi/misi kepemimpinan Aceh.
Tuntutan
untuk dimasukkannya nomenklatur mukim di dalam RTRW Aceh sebagai bentuk
pengakuan terhadap masyarakat adat dimulai pada masa pemerintahan Irwandi-Nazar
sebagai Gubernur Aceh (2007-2012), hanya saja ketika terjadi pergantian
pimpinan (Zaini-Muzakir) substansi RTRW Aceh mengalami “intervensi” yang cukup
signifikan sehingga terkesan mengulang kembali dari awal.
Berbagai
pertemuan telah dilakukan oleh civil society untuk memberikan masukan
dan memastikan usulan masyarakat terakomodir dalam RTRW Aceh, dan bahkan dalam
tahun 2013 pihak Norwegia (Kedutaan besar Norwegia) Stig Traavik ikut membantu
membangun dialog para pihak terutama untuk menjembatani kepentingan antara OMS
dengan Pemerintah Aceh yang digelar dalam pertemuan para pihak Gubernur Aceh
Zaini Abdullah, Wali Nanggroe Malek Mahmud, Pansus DPRA T. Anwar, juru bicara
KPHA Efendi di kantor Bapeda Aceh pada tanggal 29 Agustus 2013 yang
menghasilkan beberapa rekomendasi tindak lanjut untuk membuka ruang komunikasi
antara OMS Aceh, pemerintah dan DPRA.
Peluang-peluang
yang muncul tentu tidak dengan sendirinya bisa mampu memperbaiki substansi RTRW
Aceh, melainkan harus melalui proses dan diskusi yang terkadang membuat jenuh,
karena masyarakat lebih memilih proses yang singkat dan praktis. Keputusan MK No
35 tahun 2012, UU No. 11 tahun 200 tentang Pemerintah Aceh, Qanun Mukim No. 4
tahun 2003, Perda No. 5 tahun 1996 tentang Mukim adalah peluang-peluang yang
tercipta untuk menempatkan substansi mukim/hutan adat di dalam RTRW Aceh.
Seharusnya
Pemerintah Aceh memperkuat kriteria keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) dan
wilayah adatnya, dengan memperjelas peraturan daerah tentang:
- Tata cara penetapan keberadaan MHA.
- Hak-hak dan kewajiban MHA, serta.
- Tugas dan wewenang pemerintah dalam mengakui, menetapkan dan membina penguatan fungsi hutan adat berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
- Fungsi negara dalam pengurusan hutan yang ada pada wilayah hutan adat.
- Merealisasikan Keputusan MK dengan benar,
- Hak-hak pihak ketiga yang sah yang ada pada wilayah MHA sebelum Keputusan MK tersebut.
berbagai isu
hukum yang belum dapat terjawab dengan konstruksi aturan yang ada saat ini,
antara lain, batasan kewenangan masyarakat hukum adat di dalam mengelola hutan
adat, sejauh mana masyarakat hukum adat dapat mengalihkan/menyewakan hak atas
hutan adat kepada pihak lain dan dengan mekanisme seperti apa, sejauh mana
kewenangan masyarakat hukum adat untuk dapat mengalihkan hutan adat menjadi
non-hutan, bagaimana bentuk formal pengakuan negara atas hutan adat yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat.
Hal-hal
tersebut di atas menjadi tantangan bagi semua pihak yang peduli kepada
pelestarian konsep adat di Aceh, khususnya tentang hutan adat demi kelestarian
lingkungan dan masa depan generasi muda Aceh.
Mate aneuk
meu pat jirat
Mate adat ho ta mita
Mate adat ho ta mita
By HANIS MANSUR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar